Tantangan Si Dinda
Tantangan Si Dinda
Tik tok tik tok. Denting jam terus
mengusik, terdengar ditelingaku meski ku tak memiliki jam analog di dinding
kamarku. Aku membayangkannya dengan tak henti menatap jam pada ponselku. Ya, jam
menunjukkan pukul 01.56 dan aku baru selesai menulis. Bukan pengalaman hijrah
yang ku tulis, namun pengalaman sedih senangku pada wajihaku. Bukan tanpa
sebab, semalaman betul aku memikirkan harus menuliskannya atau tidak. Bagaimana
mungkin aku menceritakan masa laluku yang menjadi momok bagiku? Seharian aku
bertanya pada batin, haruskah aku mengikuti sayembara ini?
Beruntung hari ini wajihaku
mengadakan pertemuan rutin, dengan sigap aku mendekap si mbak, murobbi
tercintaku. Anugerah Allah yang Allah jadikan bagiku jalan. Jalan menuju solusi
yang dititipkan-Nya melalui beliau. Kutarik beliau sedikit kebelakang, lalu ku
tunjukkan pamflet pink hijau itu. Beliau tersenyum seakan mengerti maksudku.
Seketika beliau mengangguk dan aku justru menggeleng tiga kali. Beliau tampak
resah dan bingung. Kutangkap dari matanya seolah bertanya, kenapa?. Aku hanya
diam dan menjawab dengan gelengan kepala lagi. Dengan mata terpejam aku terus
menggeleng. Aku tidak sedang menikmati musik, itu adalah ciri ketika aku merasa
takut. Si mbak yang mulai mengerti mengajakku bergeser semakin jauh dari
saudaraku yang lain, dirangkul bahuku setengah memeluk, lalu beliau bertanya.
"Yuk cerita.. Ada apa din?" (Aku terbiasa di panggil dinda meski nama
asliku bukan dinda). "Dinda pengen ikut, tapi takut mbak" Jawabku.
Dengan bujuk rayunya beliau berhasil mengubah keputusanku. Aku memberanikan
diriku untuk menceritakan kisahku dengan harap pendengar dan pembacanya
terinspirasi olehnya. Sebelum menulis, aku sempat bertanya pada diri, mampukah
aku menulis ceritaku hanya dalam 3-5 lembar saja? Bahkan 10 lembar pun tak
cukup mewakili ceritaku. Akan kucoba meski kurasa tak mampu.
Bismillah…
Ingatan itu masih terkenang jelas,
jeritan bahagia seorang siswi usai menarikan jemari di ponselnya. Mulanya gadis
itu tampak resah, tertangkap dari bola matanya yang tak henti menatap
ponsel, Ia terlihat menunggu sesuatu dan sesuatu itu melahirkan kecemasan. Ia Terhenti
pada satu laman dengan jemari yang tak bergerak barang sedetik pun. Seketika,
Ia memejamkan mata dan berteriak
"Aaa.. Gue lulus! Gue lulus
bang ! Aaa... Ini serius kan? Ga mimpi kan inda? Coba abang periksa hape inda servernya
error gak? indah ga mau mati ke GR'an nihh indah lulus! Indah lulus! Yuhu!"
Sembari melemparkan ponsel kearah si Abang. Terus-terusan Ia mengulangi
perkataanya sampai seluruh keluarga hambur kebingungan. Dinda memanglah tipekal
anak yang manja, dibahagiakan sedikit saja, Ia bisa memekakkan telinga satu
desa lantaran teriakannya. Betapa bahagianya kala diterima di universitas yang
di mimpikan. Singkat cerita, si Abang adalah mantannya ketika SMP. Mereka
dipertemukan kembali ketika SMA. Namun, meskipun status mereka tak berpacaran,
hubungan mereka tetap sama, bahkan selalu terselip kecemburuan ketika salah
satunya bersama dengan lawan jenis. Maklum,
hidayah belum berhasil dijemput oleh satupun dari keduanya.
…..
Matahari terbit dan terbenam, berulang-ulang
hingga tak terasa 3 bulan berhasil kulalui. Aku melakukan aktivitas di
lingkungan dengan ruhiyah yang baik, tak heran jika penampilanku kian berubah
sedikit demi sedikit. Mulai dari jilbab yang menjadi dua lapis, tiga lapis.
Bahkan jilbab syar’i yan menutup hampir mata kaki. Pagi itu suasana asrama
sangat sejuk, jauh berbeda dari biasanya. Sejuknya Seolah memanggil batin untuk
merubah sesuatu. Kuambil kain panjangku, kulilitkan diatas kepalaku..
Panjangnya hingga juntaiannya hampir menyapu lantai. Entah apa yang membuatku
ingin mengenakannya padahal sebelumnya aku terang-terangan menolak keberadaannya.
Hari
terus berlalu, aku semakin nyaman dengan kain panjangku. Aku menjadi lebih
terjaga, baik ruhiyah dan jasadiyah. Terlintas difikiranku untuk mengakhiri
hubungan dekatku dengan ‘Si Abang’. Hingga di waktu yang tepat kuberanikan
diriku mengungkapnya. Sakit memang, tapi Alhamdulillah tekad itu benar-benar
kuat. Aku berhasil mengakhiri hubungan dekatku. Tangis sempat mewarnai harinya
kala itu, aku tak menyangka bahwa laki-laki yang selama ini pandai bela diri menangis
tepat didepan mataku. “Kamu serius?” tanyanya sedih . Kujawab “Ya, aku serius.”
Kemudian Ia menimpali “ Alasannya?” Langsung kujawab “Setelah melihat
perubahanku kelak kau akan paham akan alasan itu”. “Tapi aku mencintaimu” Ia
menambahkan kalimatnya. Kujawab mudah “Tenang, kalo emang kita jodoh nanti
ketemu kok”. Kuakhiri percakapanku dengan melangkah pergi meninggalkannya,
bukan aku tak peduli. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan.
Sejak
saat itu, aku hampir tak pernah menghubunginya. Hanya ketika Ia menyapa via
media sosial saja. Terkadang Ia menyempatkan diri mengirim ucapan salam dan
kubalas seperlunya saja. Kujawab sesingkat mungkin agar percakapan itu tidak
berkepanjangan. Hariku terus berlalu, aku terbiasa dengan kesendirian. Aku
mengisi hari-hariku dengan kegiatan positif. Ya, begitulah pesan murobiku. Hal
positif akan menghidarkan diri dari perbuatan maksiat. Tahun pertama ku hijrah,
cobaan datang silih berganti, mulai dari gunjingan tentangga, sindiran hingga dijauhi
teman pun pernah kurasakan. Awalnya aku kesulitan, aku tak siap. Namun karena
lingkunganku sehat, aku terbiasa mendengarnya lantaran selalu tertampar oleh
nasihat-nasihat super sahabat lingkaranku. Tidak berhenti sampai disitu, cobaan
lain datang dari teman lama, teman SMA yang ternyata memperhatikanku.
Teringat
aku di suatu waktu, tanya seseorang yang ternyata memperhatikan perubahanku.
Meskipun tak sepatutnya ia memperhatikanku apalagi memberanikan diri menanyakan
hal yang benar ku larang untuk ditanyakan. Ah dia lawan jenis, rasa maluku kala
itu tak ubahnya tumbuhan putri yang pasti mengatup ketika disentuh. Di antara
dua shalat, sebuah pesan singkat mengomentari salah satu postinganku pada grup
alumni. Aku memang terbilang rajin mengirim pesan-pesan yang menurutku
bermanfaat dan baik untuk disebarkan. Aku yang baru selesai dengan bacaanku,
sempat terhenti mengambil sepiring nasi lantaran pesan singkat masuk ponselku
secara pribadi. Bagaimana tidak, pesan tersebut dikirimkan oleh seorang pria
yang tidak lain adalah teman karibku ketika SMA. Kata-katanya memang sedikit,
namun makna dari pertanyaannya itu yang membuatku kian gusar, dari tidak mau
membalas jadi harus membalas pesan tersebut secepat mungkin.
Setelah salam, Ia melanjutkan
kalimatnya dengan pertanyaan. "apasih yang membuat kamu berubah?
Sepertinya kamu udah ngerti banget arti kehidupan yang sesuai dengan syariat
islam". Kira-kira begitu kalimat tanyanya kala kuartikan dalam bahasa
Indonesia. Batinku bertanya, ada apa gerangan? Berani sekali Ia menghubungiku
secara pribadi lantas bertanya demikian? Alih alih tidak ingin menjawab,
berubah menjadi keharusan. Berfikir sejenak, kemudian kuberanikan diri mengetik
balasan dengan harapan ia berhenti bertanya padaku tentang apapun itu. Kuawali
dengan jawaban salam kemudian sambutan prolog layaknya tulisan apik.
"Bisa jadi, yang kamu liat ini
jauh lebih hina dari yang kamu bayangkan. Bisa jadi, orang yang terlihat paling
baik justru paling buruk akhlaknya. Bisa jadi, orang yang terlihat paling dekat
dengan Allah adalah orang yang paling jauh dari Allah. Ya semua bisa saja
terjadi, hanya saja orang-orang yang kamu lihat ini memiliki kekuatan lebih
dibandingkan orang-orang yang tidak 'seperti ini' yang justru menebar aurat nan
mengundang syahwat. Ambil contoh pengenaan hijab, kerudung, bahkan cadar.
Ketika seseorang memutuskan untuk hijrah, memutuskan untuk mempertebal bajunya,
merapatkan kainnya, melebarkan pakaiannnya. Saat itu mereka mengutamakannya
bukan untuk dicap sebagai 'orang baik' Melainkan mencoba memperbaiki dan
melindungi diri dengan tidak menampakkan aurat. Hijabnya, Ia gunakan sebagai
tameng. Tameng yang melindunginya kala kesempatan gila mengundang dosa
Kerudungnya adalah malunya. Malu berbuat curang, malu berbuat picik, malu
pacaran, malu segala hal yang memang dilarang dalam Islam. Lalu, kenapa saya
seperti ini? Karena saya malu pada diri saya sendiri, terkhusus pribadi saya
yang lama. Kenapa saya seperti ini? Ya, karena saya ingin melindungi diri saya,
melindungi diri dari rayuan maut yang bisa datang kapan saja dan dimana saja.
Kenapa saya seperti ini? Karena saya takut pada Allah, karena saya tidak siap
ketika tiba-tiba Allah memanggil saat amalan ini jauh dari kata layak. Sungguh,
hijabku bukan untuk menarik perhatian kaum-kaummu Aku hanya mencoba
melindungiku juga kedua orang tuaku dari perihnya jahanam. Semoga yg tertulis
bukan sekedar tulisan, melainkan amalan yang meningkatkan iman. Aamiin Allahuma
Aamiin
Begitulah kira-kira jawabanku,
jawaban yang kucuba menguatkan. Teks yang panjang bahkan sangat panjang. Aku
bahkan tak peduli Ia berkenan membacanya atau tidak. Kala itu aku hanya
menginginkan Ia berhenti bertanya-tanya tentangku. Nampaknya keinginanku itu
benar tak sampai, ternyata Ia mengupas habis setiap kata pada kirimanku barusan.
Tak puas dengan jawabanku, kembali dirinya menimpali pertanyaan "Memangnya
kamu dulu kenapa? setauku kamu perempuan baik, lantas kenapa kamu membenci masa
lalumu?" Tanganku dibuat geram lantaran membaca balasannya Kenapa Ia
begitu sibuk dengan perubahan seseorang, fikirku demikian. Tak henti kalimat
husnuzon kurasuki akal, menenangkan diri sembari berharap orang itu berniat
baik. Mungkin saja beliau ingin hijrah, sama sepertiku. Ku ketik lagi balasanku
yang mana balasan kali lebih singkat dibandingkan sebelumnya.
"Perempuan baik? Itu
menurutmu, banyak sekali alasanku yang semoga dengannya bisa menjawab
pertanyaanmu. Pertama, aku pacaran. Terlalu banyak dalil di alqur'an dan hadis
yang membahas tentang zina. Zina mata, zina hati, zina tangan, semua tentang
zina. Kedua, ketika SMA tak pernah ada batasan kala berbaur dengan ikhwan, bahkan
terparah Aku sering kali tertawa puas ketika bercanda dengan teman yang jelas
bukan muhrim bagiku. Ketiga Seringkali aku berboncengan dengan laki-laki ketika
pulang sekolah, pun dengan alasan 'jalan searah'. Kini aku baru sadar bahwa
semua hal yg kuanggap 'biasa' itu adalah pelanggaran. Harusnya aku malu,
harusnya bersyukur masih diberi nikmat tinggal di Indonesia, bayangkan jika aku
tinggal di negeri pasir, mungkin aku sudah mati dirajam. Maaf sobat, bukan maksudku membuka aib, hanya saja aku
ingin ceritaku ini menjadi muhasabah. baik untuk diri sendiri juga orang lain”. Semoga cerita ini benar
memuhasabah diri kita. Aamiin Allahumma Aamiin.."
Lagi, kututup pesanku dengan salam.
Nampaknya tak ada lagi tanda penasaran. Akhirnya kurasa tenang, pertanyaan-pertanyaan
maut itu tak lagi membuat tanganku gempal. Alhamdulillah ini adalah sepenggal
ceritaku. Semoga Allah meridhoi tulisan ini. Semoga bermanfaat dan semoga benar
memusahabah kita semua. Aamiin Allahumma Aamin.
Syukron,
Meri Suranti
Komentar
Posting Komentar