Sebab Golputmu Juga Dipertanggungjawabkan
Oleh : Meri Suranti
Indonesia merupakan negara demokrasi, wacana yang paling banyak didengar sejak sekolah dasar adalah bahwa sistem yang digunakan dalam pengambilan keputusan yakni pemungutan suara, yang bunyinya : “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat”. Realisasi dari pemungutan suara ini adalah “Pilkada”. Pilkada merupakan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Mulai dari pemilihan Gubernur, Walikota, Bupati serta wakil-wakilnya dengan pemilihan secara langsung dan demokratis. Sesuai dengan ketetapan UU No. 8 Tahun 2015 Point ke 3 Pasal 1 yang berbunyi : “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan selanjutnya disebut sebagai pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.
Dilansir dari media Tribunnews.com pada Maret 2018, Amanda Rizqyana melaporkan bahwa pemerintah pusat telah mengintruksikan bahwa 27 Juni 2018 dinyatakan sebagai hari libur nasioal guna pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Kemendagri No. 270/414/OTDA yang ditujukan pada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, dengan tembusan kepada Ketua KPU, Pimpinan DPRD provinsi, Ketua KPU Provinsi, Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dan Ketua KPU Kabupaten/Kota yang pada salah satu isinya menjelaskan pentingnya pemberian dukungan atas pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018. Upaya ini dilakukan pemerintah guna meghindari pengurangan partisipasi pemilih alias golput atau golongan putih, yang mana pada tahun-tahun sebelumnya buruh memilih lembur bekerja karena mendapat penghasilan tambahan ketimbang mengunjungi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berdasarkan data yang resmikan oleh Kemendagri, jumlah daerah yang melakukan pilkada serentak sebanyak 171 Daerah. Tercatat sebanyak 17 Pilkada dilakukan pada tingkat provinsi, 39 Pilkada pada tingkat Kota dan 115 pada tingkat kabupaten.
Setelah mewawancarai Mentri Dalam Negeri pada Selasa, 9 Januari 2018. Hardani Triyoga dan Eka Permadi melaporkan bahwa Tjahjo Kumolo menyebutkan pada pilkada 2017, angka partisipasi masyarakat pemilih mencapai 74,5%. Artinya sebanyak 25,5% masyarakat Indonesia tidak memilih alias golput. Angka yang cukup besar, padahal jika digunakan untuk memilih dapat memberikan dukungan lebih banyak pada pasangan calon.
Jika dilontarkan pertanyaan, kenapa harus memilih? Maka jawabannya adalah karena kita akan dipimpin oleh orang-orang yang terpiih. Sudah terlalu banyak media yang menggelar kajian-kajian pemilu. ‘Kajian anti golput’ yang bahkan dilontarkan oleh pemuka agama, politisi, aktivis dan lain sebagainya. Kita sudah sangat paham bahwa pilihan tahun ini akan menentukan nasib Indonesia 5 tahun kedepan. Bagaimana jadinya jika kita dipimpin oleh orang-orang yang tak berkompeten? Jika salah satu akibat tak terpilihnya pemimpin kompeten karena selisih satu suara, maka kurangnya satu suara itu menjadi tanggung jawab yang tak memilih alias golput. Kita memang tidak dijatuhi sanksi ketika golput, namun kita akan menzhalimi diri sendiri, masyarakat dan Indonesia tentunya. Meskipun calon pemimpin dirasa tak sesuai, bukan berarti tidak memilih. Kita bisa menimbang, dengan mencari calon yang paling sedikit keburukannya dan paling banyak kebaikannya.
Mari gunakan hak suara dengan bijak Sebab kelak keputusan kita akan dipertanggungjawabkan.
Selain masalah golput, permasalahan yang sering terjadi menjelang pilkada adalah politik uang. Pasangan Calon biasanya meng ‘iming-imingkan’ masyarakat dengan sejumlah uang. Masyarakat pun menyambut baik kejanggalan ini. Sering kali ketika tidak menemukan paslon terbaik masyarakat memilih calon yang banyak memberikan bantuan secara finansial. Padahal itu bukanlah suatu kebaikan melainkan kekejian. Masyarakat biasa menyebutnya dengan serangan fajar. Ini merupakan tindakan yang melanggar peraturan pilkada sebab terkesan memaksa seseorang untuk memilih. UU No 10 Tahun 2008 Pasar 261 menyebutkan bahwa salah satu pelanggaran dalam pemilu adalah “Merintangi orang menjalankan haknya memilih”.
Pemimpin yang dihasilkan dari politik uang tidak menjamin pemimpin tersebut baik. Sebab setelah terpilih dikhawatirkan pemimpin tersebut akan berbalik arah. Bukannya membantu masyarakat dengan pembangunan sarana dan prasarana daerah, justru akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya supaya ‘balik modal’. Sama halnya pada kasus pertama, ketika pemimpin terpilih adalah orang yang salah, maka yang akan mempertanggungjawabkan adalah orang yang memilih karena tidak melakukan pertimbangan baik segi kebaikan maupun keburukan.
Kita sebagai kader bangsa harus cerdas, harus berpartisipasi tentunya. Bukan hanya cerdas sendiri tapi juga cerdas berbagi. Berbagi pemahaman tentang pentingnya memilih serta berbagi pemahaman tentang menimbang dan menyeleksi. Sebab yang kita inginkan adalah perubahan bukan sekedar iming-iming yang sama sekali tak berarti.
Sebab masa depan Indonesia ada ditangan kita. Kita yang kelak akan memimpin bangsa, jangan terpedaya. Gunakan logika, sebab satu suara kita menentukan kemajuan bangsa 5 tahun kedepan. Mari berdemokrasi. Siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan sekarang. Sama-sama kita perbaiki diri. Dari diri sendiri untuk Indonesia Madani.
#Indralaya, 14 Mei 2018
#Menuju20thReformasi
Indonesia merupakan negara demokrasi, wacana yang paling banyak didengar sejak sekolah dasar adalah bahwa sistem yang digunakan dalam pengambilan keputusan yakni pemungutan suara, yang bunyinya : “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat”. Realisasi dari pemungutan suara ini adalah “Pilkada”. Pilkada merupakan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Mulai dari pemilihan Gubernur, Walikota, Bupati serta wakil-wakilnya dengan pemilihan secara langsung dan demokratis. Sesuai dengan ketetapan UU No. 8 Tahun 2015 Point ke 3 Pasal 1 yang berbunyi : “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan selanjutnya disebut sebagai pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.
Dilansir dari media Tribunnews.com pada Maret 2018, Amanda Rizqyana melaporkan bahwa pemerintah pusat telah mengintruksikan bahwa 27 Juni 2018 dinyatakan sebagai hari libur nasioal guna pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Kemendagri No. 270/414/OTDA yang ditujukan pada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, dengan tembusan kepada Ketua KPU, Pimpinan DPRD provinsi, Ketua KPU Provinsi, Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dan Ketua KPU Kabupaten/Kota yang pada salah satu isinya menjelaskan pentingnya pemberian dukungan atas pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018. Upaya ini dilakukan pemerintah guna meghindari pengurangan partisipasi pemilih alias golput atau golongan putih, yang mana pada tahun-tahun sebelumnya buruh memilih lembur bekerja karena mendapat penghasilan tambahan ketimbang mengunjungi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berdasarkan data yang resmikan oleh Kemendagri, jumlah daerah yang melakukan pilkada serentak sebanyak 171 Daerah. Tercatat sebanyak 17 Pilkada dilakukan pada tingkat provinsi, 39 Pilkada pada tingkat Kota dan 115 pada tingkat kabupaten.
Setelah mewawancarai Mentri Dalam Negeri pada Selasa, 9 Januari 2018. Hardani Triyoga dan Eka Permadi melaporkan bahwa Tjahjo Kumolo menyebutkan pada pilkada 2017, angka partisipasi masyarakat pemilih mencapai 74,5%. Artinya sebanyak 25,5% masyarakat Indonesia tidak memilih alias golput. Angka yang cukup besar, padahal jika digunakan untuk memilih dapat memberikan dukungan lebih banyak pada pasangan calon.
Jika dilontarkan pertanyaan, kenapa harus memilih? Maka jawabannya adalah karena kita akan dipimpin oleh orang-orang yang terpiih. Sudah terlalu banyak media yang menggelar kajian-kajian pemilu. ‘Kajian anti golput’ yang bahkan dilontarkan oleh pemuka agama, politisi, aktivis dan lain sebagainya. Kita sudah sangat paham bahwa pilihan tahun ini akan menentukan nasib Indonesia 5 tahun kedepan. Bagaimana jadinya jika kita dipimpin oleh orang-orang yang tak berkompeten? Jika salah satu akibat tak terpilihnya pemimpin kompeten karena selisih satu suara, maka kurangnya satu suara itu menjadi tanggung jawab yang tak memilih alias golput. Kita memang tidak dijatuhi sanksi ketika golput, namun kita akan menzhalimi diri sendiri, masyarakat dan Indonesia tentunya. Meskipun calon pemimpin dirasa tak sesuai, bukan berarti tidak memilih. Kita bisa menimbang, dengan mencari calon yang paling sedikit keburukannya dan paling banyak kebaikannya.
Mari gunakan hak suara dengan bijak Sebab kelak keputusan kita akan dipertanggungjawabkan.
Selain masalah golput, permasalahan yang sering terjadi menjelang pilkada adalah politik uang. Pasangan Calon biasanya meng ‘iming-imingkan’ masyarakat dengan sejumlah uang. Masyarakat pun menyambut baik kejanggalan ini. Sering kali ketika tidak menemukan paslon terbaik masyarakat memilih calon yang banyak memberikan bantuan secara finansial. Padahal itu bukanlah suatu kebaikan melainkan kekejian. Masyarakat biasa menyebutnya dengan serangan fajar. Ini merupakan tindakan yang melanggar peraturan pilkada sebab terkesan memaksa seseorang untuk memilih. UU No 10 Tahun 2008 Pasar 261 menyebutkan bahwa salah satu pelanggaran dalam pemilu adalah “Merintangi orang menjalankan haknya memilih”.
Pemimpin yang dihasilkan dari politik uang tidak menjamin pemimpin tersebut baik. Sebab setelah terpilih dikhawatirkan pemimpin tersebut akan berbalik arah. Bukannya membantu masyarakat dengan pembangunan sarana dan prasarana daerah, justru akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya supaya ‘balik modal’. Sama halnya pada kasus pertama, ketika pemimpin terpilih adalah orang yang salah, maka yang akan mempertanggungjawabkan adalah orang yang memilih karena tidak melakukan pertimbangan baik segi kebaikan maupun keburukan.
Kita sebagai kader bangsa harus cerdas, harus berpartisipasi tentunya. Bukan hanya cerdas sendiri tapi juga cerdas berbagi. Berbagi pemahaman tentang pentingnya memilih serta berbagi pemahaman tentang menimbang dan menyeleksi. Sebab yang kita inginkan adalah perubahan bukan sekedar iming-iming yang sama sekali tak berarti.
Sebab masa depan Indonesia ada ditangan kita. Kita yang kelak akan memimpin bangsa, jangan terpedaya. Gunakan logika, sebab satu suara kita menentukan kemajuan bangsa 5 tahun kedepan. Mari berdemokrasi. Siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan sekarang. Sama-sama kita perbaiki diri. Dari diri sendiri untuk Indonesia Madani.
#Indralaya, 14 Mei 2018
#Menuju20thReformasi
Komentar
Posting Komentar